PERJALANAN PAUL SARASIN KE MASAMBA 1893 PART III

0

21 September

Malam yang dingin di tenda terbuka kembali terasa menusuk, dengan suhu minimum mencapai 0°C. Pagi hari diselimuti kabut tebal. Kami mulai berjalan ke arah timur menuju Buntupuwang. Di kaki gunung, jalur berbelok ke selatan dan mulai sedikit mendaki.  

Sepanjang perjalanan, kami melewati beberapa pemukiman, kebanyakan berupa rumah-rumah tunggal yang dikelilingi lahan pertanian. Tanaman-tanaman ditanam hingga ke lereng-lereng bukit, meskipun banyak yang tampak terbengkalai, karena ladang dibiarkan beristirahat selama bertahun-tahun setelah panen.  

Di satu titik, kami melintasi tanah yang retak membentuk pola melengkung. Kemungkinan besar, retakan ini akibat gempa bumi yang sering terjadi di wilayah ini. Polanya menyerupai lingkaran gelombang air yang muncul ketika batu dilemparkan ke dalamnya: gelombang kejut yang memecah permukaan tanah. Di sepanjang lereng gunung, juga terlihat banyak bekas longsoran.  

Struktur tektonik pulau ini tampaknya masih aktif bergerak. Batuannya didominasi granit putih yang mudah melapuk menjadi kerikil putih abu-abu.  


PERJALANAN PAUL SARASIN KE MASAMBA 1893 PART III



Setelah beberapa kali tersesat, kami tiba di sebuah rumah di puncak bukit yang termasuk dalam wilayah Padangtoraja. Di sana, kami menemukan sebagian persediaan beras yang sebelumnya dikirimkan oleh Achmed. Kami mengambilnya dan melanjutkan perjalanan hingga tiba di sungai kecil Towöna, yang mengalir menuju Sungai Uengkai dan masih menjadi bagian dari daerah aliran Sungai Koro.  

Karena para pemandu memberi tahu kami bahwa tidak akan ada sumber air selama lima jam perjalanan berikutnya, kami memutuskan untuk mendirikan perkemahan lebih awal, sekitar pukul 9 pagi. Tak lama kemudian, Tomakaka dari Leboni datang mengunjungi kami untuk berpamitan. Ia ingin memberikan doa restu bagi perjalanan kami dengan memohon perlindungan dari para roh penjaga. Hal ini terasa penting, karena kami akan memulai pendakian curam menuju dataran tinggi yang menjadi pembatas antara wilayah aliran Sungai Koro dan sungai-sungai yang mengalir ke pesisir selatan.  

Tomakaka mematahkan sebatang ranting, mengikatkan pita kecil Fuja di sekitarnya, lalu duduk di tepi sungai. Ia melantunkan doa panjang kepada para dewa bumi dan langit, serta roh-roh penjaga pohon dan sungai, memohon agar kami diberi perlindungan dalam perjalanan ini, terhindar dari cuaca buruk maupun kecelakaan. Setelah selesai, ia menancapkan ranting tersebut ke tanah di sebelah kirinya, sebagai simbol penghormatan kepada roh hutan.  

Pengalaman ini menunjukkan bahwa penduduk asli Toraja di wilayah Sulawesi Tengah sangat serius menjalankan kepercayaan mereka. Mereka memiliki rasa tanggung jawab mendalam terhadap roh-roh yang mereka yakini, meskipun dunia spiritual mereka—yang penuh dengan roh alam dan leluhur—tidak mengenal konsep dewa tertinggi.  

Berbeda dengan Toraja, kami akan bertemu dengan suku Toala di Sulawesi Selatan, yang nyaris tidak memiliki kepercayaan spiritual sama sekali. Mereka menjalani hidup seperti anak-anak tanpa beban, tanpa memikirkan kehidupan setelah kematian. Kisah mereka akan kami ceritakan di lain waktu.  

Di perkemahan, beberapa penduduk setempat yang berpakaian sederhana dari kain Fuja kusam datang membawa akar Lamekaja untuk dijual kepada kami dan para kuli. Mereka membawa beban besar dengan ramah dan penuh kehangatan, duduk bersama kami dengan sikap yang akrab. Wanita-wanita di sana tampak sangat gembira ketika kami menghadiahkan kalung-kalung dari koral kepada mereka. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka menjabat tangan kami dengan cara unik, menempelkan telapak tangan mereka secara datar ke telapak tangan kami. Mereka juga menghadiahkan kami potongan kecil tembakau.  

Di antara tumpukan batu di sungai, selain granit putih yang biasa ditemukan, terlihat batu serpih garnet yang indah. Di lahan bekas perkebunan yang terbengkalai, pakis elang tumbuh dengan daun yang menjulang lebih tinggi dari manusia. Seekor ular berbisa dewasa dari jenis *Lachesis wagleri* dengan tubuh hijau pucat dan pola biru di punggung berhasil ditangkap.


22 September

Perjalanan kami semakin menanjak. Pada ketinggian 1.300 meter, kami menemukan pohon damar pertama, namun getahnya tidak dipanen karena lokasi ekspor terlalu jauh. Meskipun kemarin para pemandu memperingatkan bahwa kami tidak akan menemukan sumber air untuk waktu yang lama, kami justru menemukan mata air yang indah hanya satu setengah jam perjalanan. Rupanya, alasan mereka kemarin adalah untuk memberi Tomakaka kesempatan mengadakan upacara pemberkatan jalur perjalanan.

Di ketinggian sekitar 1.500 meter di Pegunungan Poanäa, kami dikejutkan oleh flora yang sangat kaya akan jenis-jenis langka. Salah satunya adalah tanaman merambat berbunga biru cerah yang sering melilit semak-semak. Selain itu, kami juga menemukan pohon pakis yang sangat anggun, dengan batang setinggi dua meter dan daun mencapai panjang 3,5 meter. Pakis ini, *Dicksonia chrysotricha Moore*, memiliki rambut-rambut merah keemasan yang tajam, memberikan kesan seolah-olah daunnya terbuat dari kawat halus.

Pohon-pohon di sini tertutup oleh lumut dan pakis kecil, termasuk jenis langka seperti *Hymenophyllum dilatatum Sw.* dan beberapa spesies *Trichomanes*, seperti *Trichomanes pallidum Bl.*, yang pertama kali ditemukan di Sulawesi. Kami juga mengumpulkan *Polypodium lagopodioides Christ*, yang namanya sangat sesuai karena rimpangnya ditutupi bulu kuning keputihan seperti kaki kelinci. Di antara tumbuhan ini, kami juga menemukan kantong semar (*Nepenthes*) dan pandan yang bercampur dengan pohon pakis.

Empat spesies baru dari genus *Dichroa*, berupa semak dengan bunga biru langit, tersebar di hutan pegunungan ini. Kami juga berhasil mendapatkan burung merpati baru yang luar biasa, *Ptilopus centralis A.B.M.*, serta beberapa spesies burung langka lainnya, beberapa di antaranya berhasil diburu untuk koleksi.

Keanekaragaman burung dan tumbuhan di pegunungan ini terasa sangat baru, kaya, dan unik bagi kami. Kami mendaki hingga ke punggungan utama Pegunungan Poanäa dan melanjutkan perjalanan di sana selama beberapa waktu. Cuaca cerah, udara sejuk, dan jalur yang baik membuat perjalanan ini menyenangkan. Namun, seperti biasa di daerah pegunungan tinggi, kami tidak mendapatkan pemandangan yang terbuka. Di sebuah area terbuka yang dipenuhi semak raspberry dan blackberry, kami mendirikan pondok-pondok. Tempat ini berada di ketinggian 1.760 meter.

Pada malam harinya, kami berbincang dengan Lamatti. Ia bercerita bahwa selama perjalanannya di Sulawesi Tengah, ia berdagang budak, kuda, dan kerbau. Harga seorang budak laki-laki atau perempuan berkisar lima puluh gulden, tetapi di Palu harganya jauh lebih tinggi, antara 70 hingga 100 gulden. Para budak biasanya didapatkan dari suku-suku pegunungan Torongkong dan Tolambo.


23 September

Pada ketinggian ini, termometer mencatat suhu minimum 13°C. Menariknya, di dataran rendah seperti lembah Leboni, suhu justru lebih dingin karena adanya kondisi meteorologi yang tidak biasa. Kami melanjutkan pendakian yang semakin curam. Di sepanjang jalan, kami menemukan biji pohon ek berukuran besar, dua kali lebih besar dari ek Eropa, berwarna hijau. Tanaman dari keluarga Zingiberaceae juga menarik perhatian, dengan bunga merah terang yang tumbuh di ujung batang menyerupai lentera kecil di atas tanah gelap hutan. Rotan memanjat hingga ke puncak pohon-pohon tertinggi, menampilkan ujung seperti mahkota yang menjulang hingga 10 meter ke udara.

Kami mencapai titik tertinggi di Pegunungan Takalla, dengan ketinggian sekitar 2.000 meter. Pegunungan ini menjadi pembatas aliran sungai antara jaringan Sungai Koro dan sungai-sungai yang mengalir ke Teluk Bone. Di bagian selatan punggungan ini, para pelintas biasanya mempersembahkan korban kepada roh-roh, terlihat dari banyaknya cabang-cabang kayu yang ditancapkan ke tanah dengan kain kecil terikat di ujungnya. 

Perjalanan kami berlanjut menuruni jalur yang licin dengan akar-akar pohon yang berbahaya. Jalur ini membawa kami naik-turun beberapa punggungan kecil, menyerupai atap-atap rumah yang harus dilewati. Pergerakan horizontal sangat lambat karena jalur terus berganti antara menanjak, mendatar, lalu menurun. Di sebuah area longsor besar, para porter kami menunjukkan ketakutan, hingga salah satu dari mereka berseru, “Di sini pasti banyak setan!”

Iklim semakin lembap, kabut mulai menyelimuti, dan lintah darat menjadi gangguan besar. Kami telah memasuki wilayah meteorologi Teluk Bone. Karena banyaknya spesies flora dan fauna yang jarang ditemui, kami memutuskan untuk berhenti lebih awal untuk berburu dan mengumpulkan spesimen. 

Salah satu burung yang berhasil ditangkap adalah flycatcher baru dengan kepala biru dan dada merah karat, yang kami namai *Siphia hoeveli* untuk menghormati Baron van Hoevell. Kami juga menemukan variasi indah dari burung pemakan lebah *Meropogon forsteni centralis* dengan bulu hijau cerah seperti burung nuri dan janggut biru gelap berkilau. Beberapa burung langka lainnya juga ditemukan. Namun, mamalia di daerah ini sangat langka; bahkan monyet pun tidak terlihat. Sama seperti di Pegunungan Poanäa, keunikan burung dan tumbuh-tumbuhan menjadi ciri khas wilayah ini. 

Saat malam tiba dan hujan mulai turun, suara katak pohon terdengar, menyerupai bunyi lonceng kecil yang menggema di hutan.



24 September

Suhu minimum mencapai 13°C di ketinggian sekitar 1.600 meter. Pagi itu begitu jernih, dengan udara segar dari hutan pegunungan. Kami melanjutkan perjalanan ke arah tenggara melewati puncak-puncak gunung. Batu-batu tegak yang kami temui di beberapa tempat dianggap oleh penduduk setempat sebagai manusia yang telah membatu di masa lalu. Di sebuah area terbuka tanpa pepohonan, kami memandang ke timur, ke arah sebuah lembah hutan yang dalam. Lembah ini tampaknya mengarah ke dataran Luwu, dikelilingi oleh hutan yang sangat lebat. Dari sana, kami melihat sebuah gunung besar, Koröuwe, menjulang di timur. Puncaknya hanya terlihat sebentar dari balik awan. Gunung itu tampak seperti yang tertinggi yang pernah kami lihat di Sulawesi, bahkan lebih tinggi dari Latimodjong. Kami memperkirakan tingginya sekitar 3.500 meter. 

Namun, kami kemudian menyesuaikan perkiraan tersebut, menyadari bahwa puncak gunung yang muncul dari awan sering kali tampak lebih tinggi daripada kenyataannya. Meski begitu, Pangeran Masamba memastikan bahwa Koröuwe adalah gunung tertinggi di Sulawesi. Gunung ini dianggap suci dan sering didaki, dengan jalur pendakian yang dapat diakses dari Masamba maupun Danau Poso. Puncaknya disebutkan ditutupi rumput. Jika kami ingin mendaki dari Masamba dengan cara perjalanan kami, kami akan membutuhkan sekitar sepuluh hari. Kami menduga bahwa massif Koröuwe ini adalah pusat penyebaran flora dan fauna khas yang kami temui di punggung bukit Poanäa dan Takälla. Pendakian gunung ini bisa memberikan manfaat ilmiah yang besar, termasuk wawasan tentang struktur geologi sebagian besar Sulawesi Tengah jika puncaknya memang bebas dari hutan.

Dalam perjalanan, kami melewati sebuah tempat pemujaan kecil dengan tiga batu tegak, lalu menuruni jalur curam hingga ketinggian 800 meter, di mana kami mendirikan tenda.  

Post a Comment

0 Comments
* Tolong Jangan Ngespam Ya. Semua komentar akan ditinjau oleh Admin.
Post a Comment (0)