25 September
Hujan turun sepanjang malam hingga pagi hari saat kami memulai perjalanan. Jalur menurun tajam, membawa kami ke kaki pegunungan menuju dataran Luwu, tepatnya ke wilayah pertanian Masamba. Di sebuah lembah sungai, menantu Tomakaka dari Masamba datang menyambut kami bersama para pengikutnya. Kami menyeberangi sungai Baliäse yang deras dengan berjalan kaki, lalu dengan hati-hati mengikuti tepian curam di sisi kirinya. Kami tiba di perkebunan Saluseba, tempat sebuah jembatan rotan melintasi sungai. Lokasi ini berada di ketinggian sekitar 250 meter di atas permukaan laut, pada 2° 25' Lintang Selatan. Di salah satu ladang, tempat padi telah dipanen, kami mendirikan tenda. Kepala desa setempat menyambut kami dengan ramah, memberikan dua batang tebu yang ia kupas sendiri untuk kami.
Penduduk di sini menyebut "tidak" dengan kata *täe*. Secara antropologi, mereka menunjukkan dua tipe berbeda: satu yang mirip dengan suku Bugis, dan satu lagi dengan hidung lebih datar serta kecerdasan yang tampak lebih rendah. Ketika ditanya, menantu Tomakaka menjelaskan, "Kami, penduduk Luwu, berasal dari dua kelompok. Sebagian berasal dari pantai, dan sebagian lagi dari pedalaman. Keduanya berbeda."
Busana tradisional berwarna-warni khas Sulawesi Tengah tidak lagi terlihat di sini. Sebaliknya, pakaian penduduk pantai yang kusam dan tak menarik kini mendominasi. Wanita-wanita di sini memakai pakaian serupa karung abu-abu dan tidak lagi menggunakan getah hitam untuk merias wajah, seperti yang juga dihindari oleh Pangeran Masamba demi menyesuaikan diri dengan adat setempat. Pria-pria mengenakan pakaian khas Bugis, meski beberapa pemuda masih mengenakan *tjidako* (penutup tubuh tradisional). Banyak dari mereka membawa pedang yang dikerjakan dengan sangat indah, dan mereka enggan menjualnya dengan harga berapa pun. Pedang-pedang ini dibuat di Masamba. Rumah-rumah mereka mengikuti gaya Bugis, tetapi tanpa hiasan pada atapnya.
26 September
Kami menerima hadiah berupa telur Maleo yang ditemukan di dekat sumber air panas. Perjalanan kami dilanjutkan melalui medan curam di sepanjang sisi kiri tepi sungai Baliäse. Kami menyeberangi dua aliran air hangat, melewati rawa-rawa yang dihiasi pohon sagu besar, dan padang penggembalaan kerbau. Rumput di sana terasa lembut seperti beludru akibat injakan kaki hewan-hewan tersebut. Setelah itu, kami menyeberangi sungai Baliäse yang mulai melebar karena menerima banyak anak sungai. Kami kemudian menyusuri tepi kanan sungai melalui jalur yang licin dan berbatu.
Di salah satu titik, sungai ini memotong bebatuan granit besar, membentuk celah dalam. Granit putih ini telah menjadi ciri khas sepanjang perjalanan kami. Setelah berjalan selama dua setengah jam, kami tiba di desa kecil Masapi, sebuah pemukiman yang tersebar di daerah perbukitan pada ketinggian 195 meter (2° 26' Lintang Selatan). Penduduk desa menyambut kami dengan ramah dan memohon agar kami bermalam di sana. Mereka mengatakan pondasi untuk tempat tinggal kami sudah disiapkan, dan beberapa penduduk akan datang membawa hadiah untuk kami.
Tak lama, sekelompok penduduk desa mendatangi kami dengan membawa berbagai hasil bumi sebagai hadiah, termasuk seekor kerbau muda. Meskipun mereka tampak hidup sederhana, mereka menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Ketika kami mengungkapkan rasa terima kasih, kepala desa dengan rendah hati berkata, "Kata-kata Anda adalah emas bagi kami."
Kami juga menerima kabar baik dari Masamba bahwa Tomakaka setempat akan menyediakan beras sebanyak yang kami butuhkan. Ia memerintahkan seluruh desa di bawah kekuasaannya untuk segera menggiling beras. Bahkan, dengan gaya khas para pemimpin Sulawesi Tengah yang suka menggunakan kata-kata heroik, ia berkata, "Sebelum seorang pun dari Anda kelaparan, saya rela mengorbankan diri."
27 September
Hujan mengguyur semalaman hingga pagi. Iklim di sini terasa lebih lembap dibandingkan daerah utara. Langit selalu mendung. Dekat desa Salubalömbo, kami menemukan makam yang unik milik Tomakaka yang baru saja meninggal. Makam itu terdiri dari pondasi batu berbentuk persegi dengan sisi sepanjang 20 meter, dirawat dengan rapi. Di tengahnya berdiri sebuah rumah kecil yang dibuat indah dengan dinding berjaring kayu seperti gaya Arab. Di depan pintu rumah itu berdiri dua patung kayu besar, laki-laki dan perempuan, yang dikenali dari detail anatomi mereka.
Di dalam rumah, terdapat dua gundukan makam dengan batu tegak di bagian kepala masing-masing. Salah satu makam dihiasi pakaian yang telah dibakar, sementara yang lain memiliki bingkai dengan anyaman berwarna-warni yang kami anggap sebagai simbol alat tenun. Kami mengira itu adalah makam pasangan suami istri, tetapi penduduk menjelaskan bahwa kedua makam itu adalah milik dua Tomakaka, dan alat tenun itu melambangkan langit.
Di sekitar makam tersebut terdapat pemakaman desa dengan ukuran lebih kecil, setiap makam ditandai dengan batu tegak. Tempat ini dikelilingi pohon pinang dan hutan lebat, menciptakan suasana yang penuh hormat.
Setelah melewati ladang-ladang yang ditinggalkan, kami berjalan melewati hutan lebat di sepanjang tepi kanan sungai Baliäse, melintasi perkebunan, rumah-rumah, dan sawah yang indah. Di sebuah lembah subur, kami melihat kolam irigasi buatan. Desa Palilli terlihat seperti lautan sawah yang luas, dengan terasering hijau yang menyerupai amfiteater raksasa. Di tengahnya, ada bukit kecil yang dipenuhi pohon kelapa, tempat kami berhenti.
Di sini, Tomakaka desa tersebut mendatangi kami bersama rombongannya. Mereka berjalan melewati kami dengan gaya unik: melangkah lurus sambil menepuk bokong mereka sebelum setiap langkah. Pemandangan ini terlihat lucu, tetapi kami tetap memperhatikan tingkah mereka. Tomakaka ini memiliki penampilan mencolok dengan rambut putih panjang, wajah gelap kemerahan, hidung tajam, bibir tipis, dan jaket bersulam.
Setelah lewat, ia berbalik dan menyampaikan pidato dengan nada keras, mengumumkan bahwa kami boleh melakukan apa saja: menebang pohon kelapa, membunuh orang yang tidak patuh, bahkan menguasai semuanya. Kami awalnya mengira itu adalah ancaman, tetapi Brugman menjelaskan bahwa Tomakaka sebenarnya sedang memuji kami—hanya saja ia sedang mabuk. Brugman menjawab dengan sopan bahwa kami tidak biasa memperlakukan pohon kelapa dan manusia seperti itu, tetapi kami akan senang jika ia memberikan beberapa kelapa. Tomakaka segera memerintahkan orang-orangnya untuk memanjat dan memberikan kelapa kepada kami sebelum pergi.
Di daerah ini, rumah-rumah sering dikelilingi parit yang mengikuti bentuk atapnya. Parit ini berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air hujan. Air limbah dari dalam rumah juga dialirkan melalui saluran daun palem cekung ke parit tersebut, sehingga area di bawah rumah tetap bersih. Sistem drainase sederhana ini menunjukkan kesadaran akan kebersihan para penghuni.
Lumbung padi di sini memiliki struktur kecil dan elegan yang berdiri di atas tiang bulat. Di bawah atapnya biasanya tergantung bagian wajah tengkorak manusia, yang konon berasal dari orang yang dikorbankan saat pesta panen. Otaknya dimakan dan darahnya diminum dalam upacara tersebut.
28 September
Kami menyeberangi sungai kecil di dekat desa, yang di hilir bergabung dengan Sungai Salukuang, salah satu anak Sungai Balidse. Perjalanan kami berlanjut di antara kedua sungai itu, melewati padang rumput dan sedikit hutan, hingga tiba di Desa Tanrung, yang terletak dekat pertemuan Sungai Palilli dan Salukuang. Di tempat itu, kami kembali menyeberang dan mendapati batuan granit putih yang sudah beberapa kali kami temui sebelumnya.
Semakin dekat dengan tujuan, kami mulai bertemu banyak orang yang menyambut dengan sorak-sorai dan nyanyian. Pangeran Masamba memimpin tari perang, dan akhirnya kami tiba di Masamba, sebuah desa besar di hamparan sawah subur, salah satu lumbung padi utama Kerajaan Luwu. Desa ini terdiri dari banyak rumah yang tersebar di antara pepohonan buah. Di tengahnya ada lapangan rumput yang luas, rata, bersih, dan dikelilingi beberapa rumah besar serta lumbung padi. Rumah-rumah ini jauh lebih besar dibandingkan yang pernah kami lihat di Sulawesi Tengah, digunakan oleh beberapa keluarga secara bersama-sama. Bagian belakang rumah biasanya menjadi area khusus wanita. Setiap keluarga memiliki lumbung padi sendiri, yang berjejer di sekitar rumah.
Di tengah lapangan berdiri rumah besar milik Tomakaka, dengan galeri di bagian depan yang dipenuhi wanita dan anak-anak yang ingin melihat kedatangan kami. Karena enggan tinggal di rumah yang tidak terlalu bersih, kami mendirikan tenda di salah satu sudut lapangan, berganti pakaian bersih, dan kemudian menuju rumah Tomakaka. Kami diterima di bawah lumbung padi besar dan dipersilakan duduk.
Tomakaka, seorang pria tua dengan wajah khas Bugis, mengenakan jaket sutra ungu, duduk bersama para pejabatnya. Banyak orang berkumpul di sekitar mereka. Kemudian Tomakaka memanggil beberapa orang yang bersiap menari perang. Mereka memakai helm rotan yang dihiasi ornamen tanduk kerbau dari logam, mirip milik Toraja, meskipun di sini hanya digunakan untuk pertunjukan. Para penari melompat-lompat, memutar tubuh, dan membuat ekspresi wajah lucu. Tarian ini lebih bersifat teatrikal, mirip yang masih bisa dilihat di Minahasa.
Tidak ada duel sungguhan, hanya gerakan melompat, memutar tubuh, dan membuat ekspresi aneh, yang cukup melelahkan. Sesekali, seorang penari mundur dengan napas terengah-engah untuk beristirahat. Pertunjukan ini berlangsung selama satu jam, diselingi gelak tawa dan sorakan penonton yang sangat terhibur. Mungkin, ini adalah bentuk ejekan terhadap Toraja, yang di sini dianggap lebih rendah. Setelah itu, kami kembali ke perkemahan.
Orang-orang di daerah ini memiliki postur tubuh dan pakaian yang kurang menarik, dengan bentuk wajah kasar dan hidung yang pesek. Yang paling menarik perhatian mereka adalah senapan repetisi kami, seperti halnya di seluruh Sulawesi, di mana senjata sering menjadi objek kekaguman utama.
Di sini, terdapat pedang-pedang kuno yang dibuat dengan sangat baik, tetapi tidak mungkin untuk memilikinya. Para pemiliknya sama sekali tidak mau melepaskannya, bahkan dengan harga tinggi sekalipun. Ketika kami ingin melihat lebih dekat salah satu pedang ini, pemiliknya terlebih dahulu menyentuhkannya ke kening mereka sebagai bentuk penghormatan. Pedang tersebut adalah warisan leluhur yang dianggap sakral dan telah terbukti bermanfaat dalam perang. Bagi penduduk setempat, pedang seperti ini dianggap memiliki roh, terutama jika sudah berusia tua dan memiliki sejarah yang dihormati.
Selama perjalanan, kami memperhatikan bahwa rasa haus jauh berkurang saat kami sering menyeberangi sungai atau berendam dalam waktu lama. Kami yakin bahwa pengamatan ini benar: air sepertinya diserap oleh kulit dan membantu mengurangi kekentalan darah.
Namun, kami mulai mengalami gangguan yang cukup parah dari nyamuk-nyamuk yang kembali menyerang kami.