Pattani (Patani) atau Kesultanan Patani adalah kesultanan Melayu di wilayah sejarah Patani. Termasuk bagian dari wilayah yang sekarang berada di Thailand selatan (Patani, Yala (Jala), Narathiwat (Menara) dan bagian dari Songkhla (Singgora)) dan Malaysia utara (Kelantan).
Masa keemasan Patani dimulai pada masa pemerintahan 4 raja wanita dimulai dengan Raja Hijau yang naik tahta pada tahun 1584 dan disusul oleh Raja Biru, Raja Ungu (atau Raja Ungku) dan putrinya, Raja Kuning. Pada masa pemerintahannya, kekuatan ekonomi dan militer kerajaan ini terbukti hebat ketika berhasil mengalahkan empat invasi besar oleh Siam. Namun, menurun menjelang akhir abad ke-17 hingga pada tahun 1786, Pattani direbut oleh Siam dan meresapi administrasi pemerintahan hingga dihapuskan pada tahun 1902.
Dinasti yang berkuasa
Menurut kitab Hikayat Patani, Kerajaan Patani diperintah oleh 3 dinasti, yaitu:
Dinasti Sri Wangsa (Dinasti Ulu). Raja Perempuan Pattani, Raja Ungu Binti Sultan Bahadur Shah menikah dengan Sultan Pahang, Sultan Abdul Ghafur Mahiuddin Shah memperkuat hubungan Patani dengan Pahang dan Kerajaan Johor pada umumnya, dan beberapa serangan Siam berhasil dikalahkan dengan bantuan Johor. Setelah Raja Ungu meninggal, Raja Kuning, putrinya dari pernikahan dengan Sultan Abdul Ghafur, naik tahta Patani.
2. Sultan Muzaffar Syah (1530-1564 M)
3. Sultan Mansur Syah (1564-1572 M)
4. Sultan Patik dari Siam (1572-1573 M)
5. Sultan Bahadur Syah (1573-1584 M)
6. Raja Hijau (1584-1616 M)
7. Raja Biru (1616-1624 M)
8. Raja Unggu (1624-1635 M)
9. Raja Kuning (1635-1649 M)
Dinasti Kelantan pertama (Dinasti Sultan Qanbul) didirikan pada tahun 1650 oleh Raja Sakti[2] yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Mahligai ke Patani.
2. Raja Loyor (1662-1663 M)
3. Raja Umar (1663-1670 M)
(1670-1688 M) Lowongan Ahli Waris. Beberapa peneliti mengatakan Pattani tidak memiliki Raja antara tahun 1670-1688 M, namun ada peneliti lain yang mengatakan tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Jembal, Kelantan hingga Raja Bakar diangkat menjadi Raja Pattani pada tahun 1688 M. Raja-raja Pattani saat ini (1688-1832 M) adalah:
2. Raja Mas Kelantan (1690-1707 M)
3. Raja Nam Cayam (1707-1715 M dan 1716-1718 M)
4. Bahar Panjang (1715-1716 M)
5. Raja Laksamana Dagang (1718-1721 M)
6. Sultan Haji Yunus (1721-1729 M)
7. Raja Yunus (1729-1749 M)
8. Raja Long Nuh (1749-1771 M)
9. Raja Bakar (1771-1774 M)
10. Sultan Muhammad (1774-1786 M)
Raja-raja Patung ditunjuk oleh Siam.
2. Raja Jaafar Datu Pengkalan (1792-1808 M)
3. Nai Kwan Sai Raja Chenak (1808-1815 M)
4. Nai Phya (1815-1816 M)
5. Tuan Sulung (1816-1832 M)
6. Nik Yusof (Raja Tokki) (1832-1842 M)
Dinasti Kelantan kedua (Dinasti Tuan Besar) didirikan pada tahun 1838 dengan pengangkatan Raja Kampung Laut Tuan Besar Tengku Long Muhammad bin Raja Muda Kelantan Long Ismail, juga dikenal sebagai Sultan Phraya Long Muhammad oleh Siam sebagai Raja Pattani.
2. Sultan Puteh (1856-1881 M)
3. Sultan Timun (1881-1890 M)
4. Sultan Sulaiman (1890-1899 M)
5. Sultan Abdul Kadir Kamaruddin (1899-1902 M)
Kejayaan Patani
Masa kejayaan Kesultanan Patani adalah pada tahun 1584 sampai dengan tahun 1649, yaitu pada saat Patani berada di bawah kekuasaan seorang raja/sultan wanita yang dikenal dengan sebutan Raja Pelangi dalam hubungannya dengan warna pelangi:
2. Raja Biru (1616-1624)
3. Raja Ungu (1624-1635)
4. Raja Kuning (1635-1649)
Raja Biru (1616-1624) menugaskan seorang pria Tionghoa-Muslim bernama Tok Kayan (Lim To Khiam) untuk memimpin pembangunan meriam kerajaan. Tiga meriam dibangun yaitu Sri Patani, Sri Nagara dan Mahalela. Sri Patani dan Sri Nagara memiliki ukuran yang sama sedangkan Mahalela lebih kecil yaitu hanya 5 hasta dan bentang 1. Dan Meriam Seri Nagara dan Seri Patani merupakan meriam terbesar di Asia Tenggara. Meriam-meriam ini telah berhasil memblokir empat serangan Siam di Patani pada tahun 1603, 1632, 1634, dan 1638.
Pada tahun 1631, Patani pernah mengirim pasukan ke Ligor (Nakhon Si Thammarat) untuk membebaskan wilayah itu dari cengkeraman Siam, dua kapal Siam berhasil dirampas bersama 2 orang Belanda. Kemudian pasukan Siam berhasil merebut kembali Ligor dari Patani, namun 2 orang Belanda masih hilang sehingga menyebabkan Belanda memihak Siam dalam perang melawan Patani. Di antara serangan terbesar Siam ke Patani terjadi pada bulan Mei 1634, dimana 60.000 pasukan Siam menyerang Patani, namun pasukan Siam kalah karena serangan yang kuat dari gabungan pasukan Patani dan Portugis.
Untuk lebih memperkuat kerajaan Patani maka Kerajaan Patani bersekutu dengan Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga ketika Raja Ungu yang bergelar Paduka Sultanah Syah Alam menikah dengan Sultan Pahang yaitu Sultan Abdul Ghafur dan sebagai akibat dari perkawinan ini , seorang putri bernama Raja Kuning lahir, naik tahta Patani setelah kematian ibu mertuanya pada tahun 1635. Kerajaan Johor-Pahang beberapa kali mengirimkan bantuan militer untuk mematahkan serangan Siam, akibatnya Patani tetap berdaulat. kerajaan hingga akhir abad ke-18.
Kejatuhan Patani
Pada pertengahan abad ke-17, Raja Kuning yang memerintah Patani meninggal dunia dan membuat keadaan Patani kacau balau. Raja Sakti I dari Kelantan berhasil menyatukan Patani dan Kelantan di bawah kekuasaannya pada tahun 1649. Pemerintahan di Patani setelah itu dipimpin oleh putranya, Raja Bakal yang memerintah dari tahun 1688-1690.
Dua raja wanita Kerajaan Jembal di Kelantan pernah memimpin pemerintahan Patani, yaitu Raja Mas Kelantan (1670-1698) dan putrinya Raja Mas Cayam yang juga dikenal sebagai Raja Dewi Peracu (1698-1702).
Adalah Raja Mas Cayam yang mengangkat putra Bendahara Johor, Tun Zainal Abidin, sebagai Sultan sungai Terengganu, dalam usahanya mempererat persahabatan dan persekutuan dengan Johor.
Namun Johor juga mengalami kemunduran dan tidak mampu lagi melindungi dan mengirim bantuan militer ke Patani karena konflik antara penguasa Melayu dan Yamtuan Muda Riau (pihak Bugis) pada akhir abad ke-17 dan pada abad ke-18. Patani pada tahun 1785 dan Kedah pada tahun 1821, dan kedua negara ini berhasil ditaklukkan oleh Siam.
Berikut kronologi singkat penaklukan Patani dan Kedah oleh Siam:
(1). 1760: Bangkitnya kekuasaan Burma di bawah Dinasti Konbaung, Burma menaklukkan Siam pada 1767 dan Laos pada 1765
(2). 1768 : Siam di bawah pimpinan jenderal Taksin berhasil mengusir penjajah Burma.
(3).·1769 : Untuk memperkuat kekuasaannya di selatan Siam ditaklukkan Ligor/Negara Sri Darmaraja (Nakhon Si Thammarat). Armada angkatan laut dibangun di Nakhon Si Thammarat, Trang dan Krabi untuk menaklukkan wilayah selatan semenanjung Melayu.
(4).· 1782: Raja Buddha Yodfa Chulaloke atau Rama I naik tahta Siam menggantikan Raja Taksin yang digulingkan, dinasti Rattanakosin yang berbasis di Bangkok didirikan.
(5).· 1785: Di bawah pemerintahan Raja Rama I, Siam menyerang dan berhasil menaklukkan Patani. Kelantan dan Terengganu menjadi negara bagian ke Siam dan mengirim bunga emas ke Siam.
(6).· 1789-1791: Pemberontakan di Patani. Patani dibagi menjadi tujuh wilayah: Patani, Saiburi (Teluban), Nongchik, Yaring, Yala, Reman dan Rangae untuk melemahkan Melayu.
(7). 1821: Kedah direbut oleh Siam, Siam juga mengancam akan menyerang Perak dan Selangor, Sultan Kedah yang kalah dilarang tinggal di Perak dan Selangor karena Siam menganggap negara bagian ini berada di bawah kekuasaannya. Sultan Kedah harus tinggal di Melaka dan melancarkan serangan gerilya dari sana. Perak mulai mengirimkan bunga emas dan 20 gajah dari lembah Kinta ke Siam.
(8).·1832: Reman (dekat perbatasan Thailand-Perak, juga termasuk Grik dan Pengkalan Hulu), mendeklarasikan diri sebagai republik. Daerah lain, kecuali Yaring, ikut memberontak, tetapi dikalahkan.
(9). 1838: Penguasa Nongchik, Yala, Reman dan Rangae bekerja sama dengan pemberontak Kedah dan menyerang Songkhla tetapi dikalahkan oleh Siam
(10). 1839: Kedah dibagi menjadi empat wilayah: Kedah, Kubangpasu, Perlis dan Satun (Setul). Pembagian Pattani dan Kedah melemahkan kedua negara bagian tersebut.
Pada tahun 1835 terjadi pergolakan tahta Kelantan, Raja Kampung Laut yang dikenal sebagai Tuan Besar Bin Raja Muda Ismail yang kalah dari Sultan Muhammad II dalam perebutan tahta Kelantan diangkat oleh Siam sebagai patih dengan gelar raja (Phraya Patani) di negara bagian kecil Patani yang telah terbagi. Salah seorang putra Raja Bendahara Long Jenal yang kalah dalam perebutan tahta juga diangkat oleh Siam sebagai raja Yaring, salah satu negara bagian kecil di Patani.
Pada tahun 1826, penaklukan Patani oleh Siam diakui oleh Inggris. Dalam upaya memperkuat cengkeramannya di Patani, pada tahun 1902 pemerintah Siam menerapkan kebijakan Thesaphiban. Phraya Patani V, Sultan Abdul Kadir Kamarudin Syah Ibni Sultan Sulaiman Syarafuddin Syah memberontak namun dikalahkan dan diasingkan ke Kelantan.
Dengan itu, sistem pemerintahan Kesultanan Melayu dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Patani diakui oleh Inggris sebagai bagian dari koloni Siam meskipun tanpa persetujuan dari orang Melayu Patani.
Sejak dihapuskannya kekuasaan Kesultanan Melayu Patani, masyarakat Melayu-Patani berada dalam keadaan tertekan dan miskin. Seperti yang diungkapkan oleh W.A.R. Wood, Konsul Inggris di wilayah Songkhla, orang Melayu telah menjadi korban dari pemerintahan yang 'salah tata'.
Oleh karena itu, tidak heran jika kekacauan kerap terjadi di Patani. Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, mantan raja Kerajaan Melayu Patani, dengan dukungan para pejuang Turki, memimpin gerakan pembebasan. Pemberontakan anti-Siam semakin kuat ketika pemerintahan Pibul Songgram (1939-44) mencoba mengasimilasi minoritas Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Kebijakan Rathaniyom.
Keterlibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepang telah memberikan harapan kepada Melayu Patani untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen Bin Sultan Abdul Kadir Kamaruddin Syah, putra mantan Raja Melayu Patani dan juga perwira berpangkat Mayor di Angkatan 136, telah mengimbau otoritas Inggris di India untuk mengambil alih Patani dan wilayah sekitarnya dan menggabungkannya dengan Melayu.
Usul Tengku Mahmud ini sejalan dengan rencana Kantor Kolonial Inggris untuk mempelajari posisi Segenting Kra dari segi keamanan Malaya pasca perang.
Harapan itu semakin cerah ketika negara-negara sekutu, dalam Deklarasi San Francisco pada April 1945, menerima prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagai upaya membebaskan daerah jajahan dari belenggu penjajahan.
Dengan semangat itu, pada tanggal 1 November 1945, sekelompok pemimpin Melayu Patani yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, mantan perwakilan wilayah Narathiwat, mengajukan petisi kepada Pemerintah Inggris memohon agar empat provinsi di Siam Selatan dibebaskan dari Siam. menguasai dan menyatu dengan Semenanjung Melayu. Namun, sikap Inggris terhadap Siam berubah saat Perang Pasifik berakhir. Keamanan koloni dan kepentingan Inggris di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama pemerintah Inggris dalam merumuskan kebijakannya terhadap Siam atau bahkan Patani.
Pemerintah Inggris membutuhkan kerja sama Siam untuk mendapatkan pasokan beras bagi kebutuhan koloninya. Tak kalah penting, pemerintah Inggris harus menyesuaikan kebijakannya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin mempertahankan wilayah Siam seperti tahun 1941.
Kebangkitan kaum Komunis di Asia Tenggara, khususnya di Malaya pada tahun 1948 menjadi faktor pertimbangan Inggris dalam menentukan kebijakannya. Pemerintah Inggris menganggap Siam sebagai negara penyangga terhadap ancaman komunis di Cina. Oleh karena itu, Pemerintah Inggris ingin memastikan Siam tetap stabil dan memihak Barat dalam persaingan dengan Negara-negara Komunis. Pemerintah Inggris membutuhkan kerja sama pemerintah Siam untuk memberantas kegiatan teroris Komunis di perbatasan antara Malaya dan Siam.
Secara kebetulan, pemerintah Siam berjanji akan memperkenalkan reformasi administrasi dan sosial ekonomi di Patani untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Melayu. Karena itu, isu Patani mulai dianggap kurang penting, bahkan jika diangkat akan mempengaruhi hubungan dengan Siam.
Setelah Konferensi Songkhla pada awal Januari 1949, otoritas Inggris di Malaya atas permintaan Siam mulai mengambil tindakan terhadap para pemimpin perjuangan Patani. GEMPAR juga telah dilarang. Tengku Mahmood Mahyideen ditindas sementara Haji Sulung dijatuhi hukuman penjara. Gerakan politik Patani melemah dengan kematian Tengku Mahmood Mahyideen dan Haji Sulung pada tahun 1954.
Kebangkitan Organisasi Separatis Tani
Organisasi separatis Melayu sejak setelah Perang Dunia Kedua:
1. Gabungan Melayu Patani Raya (GAMPAR) dibentuk oleh orang Patani yang tinggal di Malaya. Presidennya adalah Tengku Mahmud Mahyuddin Ibni Sultan Abdul Kadir Kamaruddin Syah, pangeran terakhir Sultan Patani. Sasaran: Menggabungkan Raya Pattani dengan Semenanjung Melayu.
2. Pergerakan Rakyat Patani (PPM) di Patani, dipimpin oleh Haji Sulong, seorang ulama terkemuka. Tujuan: Memperoleh status pemerintahan sendiri (otonomi) bagi Patani yang terdiri dari empat wilayah Melayu di selatan. Kedua jenazah tersebut menghilang setelah kematian pemimpinnya masing-masing pada tahun 1953 dan 1954.
3. Barisan Nasional Pembebesan Patani (BNPP) dibentuk pada tahun 1959 oleh Tengku Abdul Jalal, gabungan keluarga kerajaan dan pemuka agama. Beberapa anggota BNPP menyuarakan keinginannya untuk mengembalikan kesultanan Pattani. Pemikiran religius mereka dianggap kuno.
4. Barisan Revolusi Nasional (BRN) dibentuk pada tahun 1963. Dibentuk oleh Ustaz Abdul Karim Hassan, yang mengagumi Presiden Soekarno dari Indonesia. BRN bergerak secara politis dan menyusup ke 'pondok', yang merupakan bentuk lama dari madrasah. Pemikirannya didasarkan pada sosialisme Islam.
5. Persatuan Pembebasan Patani (PULO) dibentuk pada tahun 1968. Kobira Kotanila atau dikenal dengan Romo Kabir Abdulrahman merupakan pendiri Persatuan Pembebasan Patani dan Sekjen. Selain gerakan politik, PULO juga melakukan gerakan gerilya. Tahun 1970-an, banyak mahasiswa Patani di luar negeri, khususnya di Timur Tengah, menjadi anggota PULO. PULO telah diakui secara resmi oleh beberapa negara di Timur Tengah sebagai organisasi yang mewakili masyarakat Patani.
https://justpaste.it/8crz4
ReplyDelete