Sampai sekarang, belum diketahui atau ada catatan apakah pada abad ke-16 saat ekspedisi Portugal dan Belanda datang ke Nusantara untuk memperkenalkan rokok. Begitu juga tidak ada catatan apakah pada masa Jayakarta, masyarakat sudah mengenal yang satu ini. Yang pasti, pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 ketika Batavia menjadi kota menakutkan akibat banyaknya kematian mereka justru menjaga kekebalan tubuhnya dengan merokok.
Sekarang beda lagi, merokok itu dianggap musuh nomor satu, dikala itu untuk menghindari penyakit justru orang-orang Belanda di Batavia (Jakarta) khususnya para kelasi, untuk mencegah terhadap berbagai penyakit yakni dengan meminum arak atau cerutu kasar yang diproduksi di kota ini. Mereka tidak ragi-ragu mengeluarkan uang untuk minum arak dan merokok cerutu.
Dahulu daun rokok pucuk ini digunakan sebagai obat terhadap beberapa penyakit. Dahulu kalau ada anak-anak kecil yang sakit demam panas dan bibirnya pecah-pecah, maka disuruh orang tuanya mengisap daun rokok pucuk ini, maka tak lama kemudian akan sembuh.
Daun pembungkus rokok ini (dari daun Nipah, Aren, maupun kulit jagung) diketahui juga sebagai obat untuk penderita semacam penyakit polip hidung atau di kalangan masyarakat pesisir dikenal dengan nama penyakit “restong” atau "ambeg". Maka asap dari rokok daun ini, dianggap mampu menyembuhkan penyakit semacam ini.
Efek dari perang industri / dagang salah satunya mematikan produk asli lokal. Rokok yang terus menerus dikampanyekan buruk dan buruk, hanya buruk saja seakan tidak ada manfaatnya sama sekali, di tangan masyarakat nusantara khususnya di pesisir wilayah Sumatera dan Jawa, bisa dijadikan obat.
Lebih dari itu, rokok dengan tambahan rempah-rempah berbungkus daun juga memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi beberapa orang warga yang membuka usaha menjadi pengrajin daun untuk merokok.
Kalau saat ini jumlah perokok terus meningkat tajam, berdasarkan medio 1930-an sampai 1950-an seperti yang di ungkapkan dalam ceritanya H. Irwan Sjafi’ie, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) jumlahnya masih jarang. Ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan keyakinan agama.
Pada saat Jepang melakukan penyerangan dan pendudukan antara tahun 1942-1945, masyarakat hanya mengenal dua merk rokok saja kala itu yakni Siraho dan Koa. Sedangkan lainnya hanya rokok produk tradisional yang dijual secara ketengan. Di masa peperangan saat hidup rakyat serba kekurangan, banyak yang tidak mampu beli rokok bungkusan.
Gabung yuk:
ReplyDeletehttps://justpaste.it/4loui