CUKUP lama saya mencari-cari koin ini dan baru tadi pagi saya temukan. Ternyata dia 'ngumpet' di bawah tumpukan buku dan kertas di meja saya. Koin ini penting bagi saya setidaknya buat kerokan, karena pinggirannya halus sehingga tidak menyakitkan di kulit.
Orang Madura dari generasi saya, apalagi yang lebih tua dari saya, sangat familiar dengan bekas mata uang Hindia Belanda ini. Mereka menyebutnya "pesse binggulen", artinya uang benggolan. 1 benggol = 2,5 sen atau seperempat puluh rupiah karena 1 rupiah = 100 sen.
Awalnya, tidak ada sesuatu pun yang menarik perhatian saya dari koin ini, tetapi setelah saya cuci dan saya gosok dengan Metal Polish semua tulisan di kedua wajah koin itu jadi terang benderang. Pada salah satu wajahnya tertulis nilainya 2,5 sen dengan angka, sedang pada wajah yang lainnya nilai tersebut tertera dengan huruf. Menariknya, dan ini yang membuat saya tertegun, huruf yang digunakan adalah huruf pegon alias aksara Arab dengan bahasa Melayu sebagai berikut (lihat gambar) 👇
سَفَرمفَت فُولُه رُوفِيه
(baca: "seperempat puluh rupiah").
Memang, di zaman lampau, aksara pegon dominan di Nusantara. Tetapi pertanyaannya, kok bisa-bisanya mata uang Hindia Belanda memuat tulisan dengan aksara pegon, sementara di zaman kemerdekaan aksara ini malah terlupakan? Konon, mata uang benggolan ini berlaku di era Ratu Wilhelmina, penguasa Kerajaan Belanda 1880-1962. Maka mulailah saya mencari-cari informasi tentang benggolan dan Wilhelmina dari berbagai referensi yang ada.
Wilhelmina mewarisi monarki kerajaan Belanda dan sekaligus melanjutkan eksistensi Dinasti Orange-Nassau setelah ayahandanya, Raja William III, mangkat, 23 November 1890. Saat itu dia berusia 21 tahun, usia yang sangat muda untuk penguasa sebuah kerajaan besar yang kedaulatannya bukan hanya sebatas Kerajaan Belanda, tetapi meliputi negara-negara jajahan, termasuk Hindia Belanda (Nusantara) di timur jauh.
Dalam pidato pertamanya pada 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan kebijakan baru yang secara krusial berbeda dengan kebijakan ayahandanya. Kebijakan baru dimaksud adalah kebijakan politik etis yang mengedepankan tanggung jawab moral kepada penduduk pribumi. Ini merupakan politik yang lebih santun daripada kebijakan yang berlaku sebelumnya dan lebih akomodatif terhadap budaya lokal setiap negeri jajahan. Barangkali inilah, antara lain, jawaban mengapa aksara pegon masuk ke dalam mata uang Hindia Belanda. Lantaran kebijakannya ini wajar kalau para tetua kampung kami di Madura sangat familiar dengan Ratu Wilhelmina. Mereka mengenalnya sebagai ratu yang baik hati. Dengan bahasa awam mereka bilang, sang ratu sering membagi-bagikan roti 🍞 pada rakyat 🙂
Kebijakan politik etis itu sekaligus menggantikan kebijakan Raja William III tentang Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang dimulai sejak 1830-1915. Kebijakan ini telah menjadikan negara jajahan sebagai sapi perah atau tambang emas bagi kesejahteraan warga Kerajaan Belanda.
Kebijakan ini mewajibkan setiap desa menyediakan 20 persen dari sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor. Pribumi dipaksa menanam kopi, teh, tebu, tembakau hingga cengkeh. Hasil tanaman ini lantas dijual dengan harga murah atau diserahkan begitu saja kepada pemerintah kolonial. Mereka yang tidak mempunyai tanah, maka sebagai kompensasinya harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik pemerintah.
Sistem Tanam Paksa dari kekayaan tanah Nusantara ini ternyata sangat efektif memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda sehingga menjadikan Belanda salah satu kerajaan terkaya di Eropa pada abad ke 19. Atas keberhasilan tersebut, Gubernur Belanda untuk Hindia Belanda, Van den Bosch, dianugerahi gelar Graaf oleh Raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
https://justpaste.it/byfbz
ReplyDelete