Oke, teman-teman kali ini admin akan mengulas salah satu daerah di Sulawesi Selatan dimana terdapat suatu suku yang hidup dan tinggal di daearah yang sangat terpencil dan terisolir yakni Kecamatan Rampi Kab. Luwu Utara. Dulunya di tahun 1990-an, daerah ini cuma bisa diakses melalui pesawat udara, menaiki kuda atau berjalan kaki, karena daerahnya pegunungan yang tinggi dan terjal. Kembali di tahun 70-90-an, warga disana saat itu menganggap garam saja sebagai hadiah emas, karena kita tahu sangat susah mendapatkan garam dikala itu (namanya daerah pegunungan jauh dari laut dan kota).
Admin pernah tanyakan pada tetua dan pendatang yang sukses berdagang disana, dulunya di tahun 60-90an, jika membawa garam beberapa kilo, bisa ditukar loh dengah seekor kerbau besar. Tapi ya itu, membawa kerbau itu ke kota sangat-sangat gak mudah, butuh sekitar 3-5 orang dan butuh waktu selama berminggu-minggu bahkan sampai berbulan untuk menarik dan membawanya sampai ke Masamba ibukota Kab. Luwu Utara. Hehehee.
Secara geografis terletak pada 10 53’ 19” - 20 16’ 14”Lintang Selatan dan 1200 3’ 2” - 1200 31’ 13” Bujur Timur dengan batasnya sebelah utara yakni Provinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Masamba dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Seko.
Terdapat 6 desa dengan luas wilayah 1.565,65 Km² dan jumlah penduduk sebanyak 3.342 orang, maka tingkat kepadatan penduduk di kecamatan ini hanya sebesar 2 orang per Km², dengan kata lain setiap Km luas wilayah di Kecamatan Rampi secara rata- rata cuma didiami oleh 2 orang. Laki-laki sebanyak 1.782 orang dan perempuan 1.560 orang. Dulunya waktu admin kesana di tahun 2006, masyarakat disana tidak ada yang menggunakan jamban, semuanya BAB di sungai atau kebun dan sekarang ini setelah pemerintah insten membantu masyarakat disana membuatkan dan mensosialisasikan pentingnya jamban di setiap rumah, barulah sudah banyak yang membuat dirumah mereka masing-masing.
Suku Rampi mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, hasil penyebaran agama disaat era penjajahan Belanda. Jika melihat dalam bidang pertanian, penanaman Padi disana sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia, sehingga hanya panen 1 kali setahun tapi berasnya luar biasa enaknya, tidak ada bandingannya dengan beras yang ada di kota-kota. Pokoknya pertanian disana serba alami tanpa menggunakan pupuk sama sekali.
Salah satu spesies hewan langka sulawesi ada juga disana yakni Anoa, ya tapi sayangnya warga disana sering berburu Anoa kedalam hutan dan mengakibatkan kepunahan hewan yang dilindungi tersebut. Mengenai hukum adat disana masih sangat kental ya, melakukan kesalahan satu saja, kita bisa didenda satu kerbau loh. Pernah ada sebuah kejadian saat maraknya penambangan emas, berbagai daerah yang ada di Nusantara, berbondong kesana untuk mengeruk emas.
Singkat saja, seorang penambang asal Manado, melakukan hubungan terlarang dengan istri orang lain (warga asli disana) dan ketahuan akan hubungan terlarang tersebut, sehingga tokoh masyarakat disana mengenakan denda adat kepada si pelaku tersebut, dan dendanya 1 ekor kerbau dan di usir pulang. Adat mereka bernama Mogombo, yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dan perayaan adat ini dilakukan sekali dalam setahun. Dalam pelaksanaan adat tersebut biasanya disiapkan sebanyak delapan ekor kerbau untuk disembelih.
Pakaian adat kulit kayu ini sangat sakral dikalangan masyarakt Rampi, karena merupakan warisan leluhur yang harus dipertahankan kelestariannya, tapi sayang para perempuan disana sangat sedikit yang tahu cara membuatnya. Pakaian adat ini digunakan untuk acara Adat, Pernikahan dan Penyambutan Tamu Penting. Terbuat dari kulit kayu Sampollo atau Kampollo dengan proses pembuatannya memakan waktu paling lama sekitar tiga bulan. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Rampi adalah bagian dari rumpun bahasa Kaili–Pamona Sulawesi Tengah dimana penuturnya kurang lebih 8.000 masyarakat Rampi.
Pembuatan baju dari kulit kayu ini dibuat tanpa di jahit dan tanpa mengunakan benang melainkan di pukul-pukul agar bisa di bentuk menjadi baju, salendang, topi (siga) khas Rampi. Kalau secara detail prose pembuatannya yakni setelah mendapatkan kayu tersebut lalu dikeluarkan serat-seratnya diantara antara tulang dalam dan kulit luarnya. Setelah itu, dimasak dan frementasikan lalu di pukul-pukul hingga merata dengan menggunakan batu Ike.
Pewarnaan kain kulit kayu diambil dari bahan-bahan alami seperti direndam dilumpur untuk menghasilkan warna coklat. Selain itu, kain ini juga direndam bunga serta berbagai tumbuhan untuk menghasilkan warna lain. Kain kulit kayu biasanya dibuat untuk beberapa jenis pakaian seperti pakaian tradisional untuk upacara adat.
Kain kulit kayu juga memiliki aneka jenis motif seperti, tanduk, tumpal, bunga dan belah ketupat. Unuknya, aneka jenis motif ini ada maknanya yaiut keberanian, kebangsawanan, keramahtamahan dan persatuan. Kain kulit kayu ini pernah dipamerkan di Pameran Tekstil Indonesia yang digelar di Museum Tekstil Jakarta.
Memang suku Rampi ini tidak begitu terkenal jika dibandingkan dengan suku Bugis, Toraja, Makasar dan Mandar, tapi sebenarnya suku Rampi memiliki sejarah yang sama panjang layaknya suku-suku lain di Sulawesi Selatan. Buktinya ditemukan adanya Patung Megalitik yang diperkirakan berusia kurang lebih 2.170 tahun, bentuk patung tersebut berwajah perempuan menandakan kalau daerah ini pernah mengalami sejarah panjang sejak 2.000 tahun yang lalu. Tapi sayangnya belum ada dilakukannya penelitian secara ilmiah, andaikan diteliti bisa mengungkap rahasia sejarah purba di tanah Sulawesi yang memiliki peradaban tua di Indonesia seperti di pulau Sumatra.
Oke sampai disini dulu ulasan dari Admin tentang Pakaian Adat baju dari kayu oleh masyarakat suku Rampi dan lain kali akan saya lanjutkan membahas tentang ojek termahal di Indonesia dan lain-lain mengenai daerah terpencil dan terisolir ini. Terima kaih sudah mampir di blog kami Pea Masamba. Bye....
Hadiah buat kalian guys
ReplyDeletehttps://bit.ly/3WKUFhM