Pagar Alam kota yang berada di perbukitan tinggi, diapit oleh 2 gunung yakni gunung Dempo dan Bukit Barisan hingga sepanjang pulau Sumatra. Mau ke kota Pagar Alam, kalian bisa dari kota Palembang menaiki bus trans Sumatra yang berjarak kurang lebih 7 jam perjalanan. Jalanan yang berbelok-belok dalam hutan tropis, pemandangan nan hijau dan cukup eksotis, sesekali kita akan menemui kota kabupaten, kota kecamatan dan melihat desa-desa yang rumah-rumah penduduk bercorak tradisi.
Rumah-rumah panggung kayu berwarna kecoklatan tua, rumah besar berpondasi tiang-tiang setinggi kurang lebih 150-200cm. Dibawah rumah-rumah panggung tersebut digunakan untuk menyimpan peralatan perkebunan atau pertanian, kayu bakar bahkan hewan ternak. Gempuran-gempuran akan budaya modern tak bisa terhindarkan, karena adanya antena parabola, sebagai satu-satunya device media penyampai saluran televisi.
Jika kita berangkat dari kota Lahat, maka kita akan sampai di kota Pagar Alam 2 sekitar s/d 3 jam. Kota yang cantik ini berlokasi di kaki gunung Dempo, Gumai dan Bukit Barisan. Setelah memisahkan diri dari Kab. Lahat atau pemekeran yang luasnya 633 km2, sebagian besar terdiri dari hutan, perkebunan teh dan kopi.
Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Basemah atau Pasemah. Dari segi historis wilayah ini meliputi wilayah Lahat, Bengkulu daerah Pahiangan dan Rejang Lebong yang ada di pegunungan Bukit Barisan. Basemah atau Pasemah bercirikan budaya yang spesifik, unik dan menarik. Hal ini kita bisa amati dalam karakter masyarakatnya mulai dari bahasa yang digunakan, aksen, tata sosial, hasil seni, budaya dan tatanan etika serta religi dalam kearifan lokalnya.
Pemerintahan Pagar Alam beberapa tahun yang lalu, secara resmi mendaftarkan 67 situs Megalitikum ke Unesco agar ditetapkan sebagai kota cagar budaya. Secara faktual tak bisa dipungkiri kalau wilayah Pagar Alam terdapat ratusan situs megalitikum yang tersebar di berbagai tempat. Situs-situs tersebut pernah diteliti oleh Mr. Van Der Hoop, seorang antropolog berkebangsaan Belanda. Dalam penelitiannya diterbitkanlah sebuah buku berjudul "Megalithic Remains In South Sumatra – 1932".
Kebudayaan Megalitikum ini adalah hasil dari budaya zaman Neolithikum, yang menyerap peradaban awal zaman logam. Zaman ini dikenal dengan masa perundagian yang mulai ditandai dan ditemukannya logam, kapak, pahat dan sebagainya dalam bentuk yang paling sederhana, kurang lebih 2500 tahun SM. Kebudayaan Megalithikum di Pagar Alam bisa kita lihat secara real dalam bentuk Menhir, makam batu, rumah batu, Dolmen, punden berundak, batu tegak atau Kosala, altar batu dan banyak lagi lainnya.
Batu-batu besar dalam berbagai bentuk inilah dugunakan sebagai sarana ritual. Para ahli sependapat nenek moyang kita dulunya melakukan kegiatan ritualnya di dalam rumah batu yang banyak tersebar itu, ritual yang dilakukan terkait masalah misteri kehidupan dan kematian. Pada umumnya dalam kebubayaan megalithikum selalu merujuk pada aspek-aspek kepercayaan atau supranatural dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang ada pada benda-benda, mahluk hidup bahkan roh nenek moyang (Haris Sukendar, 2003:27).
Pada masa kebudayaan Megalithikum di masyarakat Basemah atau Pasemah bisa dianggap sudah menjalani satu peradaban yang cukup canggih dan kokoh, sehingga sampai hari ini jejak-jekak peradaban tersebut masih bisa kita telusuri. Wilayah Basemah yang meliputi wilayah Lahat, Pagar Alam dan Bengkulu, sudah jelas bisa dijadikan sebagai wilayah cagar budaya atas begitu banyaknya ditemukan situs sejarah yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita pada masa lalu.
Misalnya Kuburan Batu di areal perkebunan kopi desa Talang Pagaragung, Kecamatan Fajar Bulan, kabupaten Lahat. Atau situs Arca Manusia dan Dolmen di Desa Tegur Wangi Lama, Kab. Pagar Alam ditemukan 4 arca manusia berciri khas Basemah. 4 Arca batu ini terdapat di tengah-tengah sawah dan tak jauh dari sungai kecil serta sebuah rumah batu. Adapun ciri-siri situs Basemah ini adalah berbentuk manusia bertubuh tambun, bibir tebal, hidung pesek dan mata besar melotot.
Menariknya jika kita cermati pada situs-situs yang tersebar di wilayah Pagar Alam ini yakni hampir semuanya menghadap ke arah gunung Dempo. Contohnya situs di Tanjung Aro yang berbentuk batu berukir "Manusia digulung Ular" dan juga situs di desa Tegur Wangi Lama "arca manusia purba dan dolmen". Mengamati situs batu bercorak "manusia digulung ular naga di Tanjung Aro, mengingatkan penulis pada kisah pewayangan Bima Ruci, yakni "carangan" cerita Mahabharata yang diyakini mengandung nilai-nilai filosofi sebagaimana ditulis R.Ng. Yasadipura I.
Dalam kisah itu, menjelang perangan Mahabharata, atas perintah resi Durna, Bima diminta untuk mencari "air prawita", yang diyakini bisa membuat manusia kebal dan terhindar dari kematian. Bima akhirnya berupaya mendapatkannya sekalipun tidak mudah. Konon letak penyimpanan air tersebut berada di dasar Samudra. Tapi tidak menyurutkan keberanian seorang Bima. Tanpa pikir panjang, Bima menyelam di dasar Samudra, lalu muncullah ular naga yang perkasa. Maka terjadilah pertarungan sengit antara Bima dan ular Naga yang akhirnya dimenangkan oleh Bima.
Dalam berbagai bentuk kebudayaan Jawa bercorak Hindu, akan kita dapati cerita atau ilustrasi Bima digubat seekor Naga di tengah lautan. Dalam perkembangan selanjutnya kisah itu kemudian dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan sering pula ditafsirkan serta menjadi acuan bagi pengikut ajaran Tasawuf natau biasa disebut Islam kejawen.
Pada situs Tanjung Aro, "manusia digulung ular" Apakah dapat ditafsirkan demikian? Kalau memang bisa ditafsirkan demikian berarti situs ini yang dibuat sebelum zaman Kerajaan Sriwijaya yang berjaya memeluk agama Buddha. Pada catatan Raffles. Dalam bukunya berjudul "Sumatra Tempoe Doeloe" karangan Anthony Reid, Komunitas Bambu, Depok, 2010: hal 210, dituliskan expedisi Raffles ke bekas kerajaan Pagarruyung menemukan arca Hindu indah yang terpahat. Artinya di wilayah Sumatra zaman dahulu sebelum zaman Sriwijaya kemungkinan sudah berkembangnya agama Hindu.
Jika demikian, maka situs Tanjung Aro "manusia digulung ular" jelas menyiratkan kisah Dewa Ruci, karena situs ini mengarah ke gunung Dempo yang dalam tradisi Hindu setiap gunung adalah wujud kahyangan tempat para Dewa bersemayam di bumi. Banyak yang meyakini kalau wilayah Lahat, Pagar Alam, Bengkulu pantas menjadi wilayah cagar budaya yang menarik dan bisa dipromosikan sebagai asset pariwisata Nasional dan Dunia yang tentunya berkualitas. Semoga saja ya!
Oke, sampai disini dulu ya, ulasan dari kami Tim Pea Masamba, terima kasih sudah mampir di blog kami. Pantau terus web kami agar mendapatkan ilmu, informasi dan berbagai pendidikan yang berkualitas. Bye...
Oke, sampai disini dulu ya, ulasan dari kami Tim Pea Masamba, terima kasih sudah mampir di blog kami. Pantau terus web kami agar mendapatkan ilmu, informasi dan berbagai pendidikan yang berkualitas. Bye...
Hadian menanti anda di tahun baru:
ReplyDeletehttps://note.gd/RXdUSE