Mengenai keberadaan asal-usul bangsa Indonesia yang dulunya sering disebut sebagai Nusantara ini mulai terkuak dan terbukti kalau Nusantara merupakan pusat peradaban dunia yang mana dimulai dari Lemuria, Atlantis dan Sundaland. Makanya sering dikatakan pula kalau bangsa Arya merupakan bangsa terbaik dunia saat itu adalah berasal dari Nusantara. Sejarah memang tidak pernah bohong dan harus dijadikan pembelajaran yang berharga, tapi demi kepentingan penulis-lah sejarah diubah menjadi sebuah kebohongan belaka.
Bahasa Jawa sebenarnya kaya akan kosakata dan di Asia Tenggara banyak ditemukan adanya kesamaan kosakata yang mirip bahasa lokal kita. Jadi bukan tidak mungkin atau bisa jadi bahasa Sansekerta itu merupakan bahasa Nusantara selama ini. Dulu kita sering diajari sejarah yang sumbernya dari penjajah di sekolah-sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA, bahkan juga diajarkan dikalangan para mahasiswa sejarah dan yang sudah melahirkan para sejarawan besar Indonesia, arkeologi-nya tak lain hanyalah buatan penjajahan Belanda.
Jadi hampir semua ulasan sejarah dan arkeologi yang beredar selama ini adalah sejarah kebohongan besar agar Bangsa Indonesia tidak punya jati diri. Sehingga sejarah yang kita kenal sekarang ini adalah hasil campur tangan para konspirasi Belanda atau negara barat lainnya untuk mengucilkan atau membodohi rakyat Indonesia. Frantz Fanon adalah pemikir Perancis yang antikolonial menjelaskan, sepak terjang kolonialisme adalah menghancurkan budaya, karakter rakyat yang dijajah dan meninggalkan dalam kebingungan intelektual serta lebih parahnya menghilangkan kesejatian identitas diri masyarakat yang mereka jajah.
Perpustakaan Leiden di Belanda adalah perpustakaan terlengkap di dunia yang membahas bangsa Indonesia dan menyimpan 26.000 manuskrip kuno Indonesia, sedangkan perpustakaan kita sendiri cuma mengoleksi 10.300 manuskrip kuno, bisa dibayangkan engga? Belanda sudah jelas membuat kita buta akan sejarah. Siapa sejatinya leluhur nenek moyang bangsa Indonesia sebenarnya?
Begitu banyak kejanggalan, keanehan sehingga memaksa kita untuk harus menarik semua dokumen kuno milik leluhur kita dari Belanda, lalu mengkaji, merevisi catatan sejarah bangsa, merekonstruksi dan menulis kembali sejarah dengan benar dan tentunya tidak mengikuti catatan sejarah yang ditulis berdasarkan pandangan atau kacamata penafsiran si penjajah Belanda, dimana tidak sesuai tertulis secara fakta, malahan menulis sebaliknya, mengarang cerita dan menjadikan kita seolah bangsa pengimpor budaya lain.
Berdasarkan penelitian dan eksplorasi sejarah terhadap keberadaan situs Borobudur di Jawa Tengah dan situs Candi Muara Takus di Kampar Riau Sumatra, bangunan tersebut bukanlah Candi dan bukanlah tempat ibadah agama Budha atau ajaran Buddhisme apalagi agama Hindu. Kesalahan terbesar dalam penulisan sejarah Indonesia adalah disaat menghitung awal tahun Saka yang dimulai tahun 78 M, berakibat hilanglah sejarah kita sebelum tahun itu dan dinamakan ajaran Animisme dan Dinamisme, luar biasa.
Ini terbukti dengan ditemukan figura relief dasar Borobudur yang ditutup pada panel nomor 43, tergambar bangunan dengan bentuk atap khas Nusantara, inskripsi pada tepi pigura terbaca Maheçākhya, yang berarti berkuasa besar atau kaum yang mempunyai kuasa besar. Cākhya adalah kaum Caka, Saka atau Arians. Beginilah leluhur Nusantara Indonesia kita yang tersebar pada ratusan Prasasti yang berangka tahun Caka atau Saka, dan hebatnya kaum Saka inilah yang sebenarnya menaklukkan Raja Saliva Hana ditahun 78 M.
Terbukti juga kalau kaum Saka sudah ada jauh sebelum tahun 78 M, Maheçākhya, Cakya, Schitya, Saka atau Aryan adalah leluhur bangsa Nusantara atau Indonesia yang sudah maju lebih dulu. Sumbangsi terbesar kaum Saka atau Aryan bagi peradaban adalah pengenalan konsep ajaran Dharma, sebuah konsep ajaran leluhur Nusantara yang tergambar di Borobudur berawal di Svarnadvipa yang hingga kini masih tersimpan baik di daerah Bali.
Nenek moyang bangsa Indonesia dulunya disebut oleh sejarawan Eropa adalah Brahman atau Brahmanisme yang artinya pelopor agama Hindu dan agama Buddha, sebelum kitab Weda atau Vedas dituliskan dan dijadikan kitab. Mereka adalah kaum Saka dan Aryan pembawa ajaran Dharma yang asli, keluar dari Nusantara dan mendasari lahirnya Buddhisme, Hinduisme dan Jainisme di India. Ajaran Dharma asli bangsa Indonesia dulunya dari Suvarnadvipa di Sumatera, tepatnya di wilayah yang dulunya merupakan tengara tanah, lokasi pembelajaran dan pendidikan di situs candi Muara Takus.
Candi Muara Takus inilah yang dikunjungi para peziarah atau pelajar Tiongkok dan Asia lainnya untuk belajar mencatat ajaran leluhur kita lalu dibawa pulang dan disebarkan di negerinya masing-masing, bukan sebaliknya membawa ajaran Buddhisme dan menyebarkannnya ke Nusantara, ini penafsiran yang salah besar. Shyam Rao menulis dalam sebuah bukunya yang berjudul "The Anti-Sanskrit Scripture" dan dimasukkan dalam perpustakaan maya Ambedkar, yang sekarang sudah dihapus atau sudah tidak ada lagi.
Rao mengkritisi anggapan para akademis kalau bahasa Sansekerta-lah merupakan induk semua bahasa di Asia Selatan bahkan sampai Eropa Barat, demikian juga aksara Deva Nagari yang katanya di akui berasal dari negeri para dewa. Rao membeberkan kelemahan bahasa Sansekerta dan aksara Deva Nagari. Bahasa Sansekrta dari sejak jaman kuno yang dipropaganda oleh bangsa Aryan sebagai bahasa suci dan Bahasa Dewata serta induk bahasa-bahasa di Hindustan, bahasa Persia, Inggris dan Jerman, dimana mengandung tatabahasa yang begitu susah, terdapat pula karakter atau alphabets-nya banyak sekali ragamnya.
Rao membuat perbandingan jumlah karakter bahasa-bahasa primitif termasuk Sansekrta sebagai berikut: "Memang jauh lebih banyak jumlah karakter Cina atau Sumeria, tapi di bahasa-bahasa itu semua karakter mewakili satu makna Grammatical suatu kata atau Morpheme. Sedang dalam bahasa Sansekrta satu aksara Deva Nagari cuma melambangkan bunyi, cara baca, perubahan bentuk kata dan lain-lain dalam aturan Grammatical yang begitu rumit. Memang agak mirip dengan huruf-huruf Timur-Tengah kayak, Hibrani dan Arab namum jauh lebih rumit. Belum lagi tata bahasanya yang tidak konsisten jika digabungkan sebagai bahasa daratan Asia Selatan ke Barat."
Bahasa Sansekrta adalah bahasa yang tidak membedakan jenis kelamin, tidak mengenal Tenses, tidak berkonsep "tunggal dan jamak", serta tidak ada partikel, tapi banyak ditemukan sinonim dan homonim yang sama dengan bahasa Nusantara. Anehnya kosa-kata bahasa Sansekreta banyak yang mirip dengan bahasa-bahasa Asia Selatan, Asia Barat sampai Eropa bagian Barat.
Jadi kita bisa simpulkan, bahasa Sansekrta dan aksara Deva Nagari adalah "Rakitan / Campuran" dari berbagai aneka macam bahasa. Dimodif dengan mencampurkan kosa-kata dan cara tulis berbagai bahasa yang ada di daratan Hindustan, terus ditambah lagi dengan bahasa-bahasa pendatang dengan aksen bangsa Aryan. Diketahui juga kalau penutur aktif bahasa Sansekrta di tahun 1921 cuma tersisa kurang lebih 356 orang di India, Pakistan dan Bangladesh, dan pada sensus di tahun 1951 cuma terdapat 555 orang penutur Sansekreta dari 362 juta penduduk India saat itu.
Padahal bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Indonesia lainnya banyak ditemukan kosa kata Sansekrta sebanyak 50%. Patut dicurigai, kalau orang-orang Aryan di India sana, memakai sebagian bahasanya dari bahasa Nusantara sebagai bagian bahasa modifnya. Karena secara teknis, justru penutur Sansekreta itu jauh lebih banyak ditemukan di Nusantara dibanding penutur yang ada di India, masuk akal juga. Apalagi orang-orang Aryan India sendiri justru menggunakan bahasa Hindi bukanlah bahasa Sanskerta. Bukti paling telak adalah belum diketemukan satupun naskah kuno berbahasa Sansekrta dengan aksara Deva Nagari di India sebelum tahun 500 M.
Jadi pertanyaan, bahasa manakah yang dijadikan bahasa Induk? Bahasa Sansekrta-kah atau bahasa-bahasa Nusantara yang mewakili Bahasa Indonesia? Namun sayangnya dalam catatan sejarah, bangsa Nusantara malah dianggap sebagai pendatang dari Indo-Cina. Walaupun kita sama sekali tidak menemukan kosa kata Indonesia atau Jawa yang mirip dengan kosa kata Khmer atau Burma. Tapi anehnya, dulunya raja-raja Kamboja memakai nama akhir Warman, begitu juga salah seorang bangsawan dari daerah Pamalayu Majapahit bernama Adityawarman. Sementara nama raja Kamboja sekarang justru Norodom Sihanouk yang sama sekali tidak begitu sama atau mrip dengan satu kata pun dengan bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan Bali.
Sebelum admin lanjut, kita bahasa negara Prindapan atau India dulu ya, sebenarnya leluhur kitalah yang mewarnai 3/4 di muka bumi yang salah satu diantaranya adalah negara India. Leluhur kita membawa palsafah Dharma lalu tumbuh dan berkembanglah 3 agama besar di sana. Nama-nama seperti Sanjaya, Sariputra, Dharmapala, Suvarnakesha, Maudgalyayana, Svarnadvpi Dharmakirti adalah putra terbaik Nusantara Indonesia maju dulunya yang meramaikan India.
Dan tokoh terakhir adalah Dapunta Hyang yang mewarnai Nusantara. Dalam Kitab Bhagavata Purana 9.12.13-14 tentang Sanjaya berbunyi; "Sanjaya, Putra Rananjaya/Krtanjaya akan dilahirkan di masa depan dan menjadi Raja, dia akan memiliki seorang Putra bernama Sakya. Sedangkan dalam kitab Mahabharata Vana Parva Bab 265, Ayat 10 berbunyi: Sanjaya, seorang pangeran di negara bernama Sauvra, Pangeran Sanjaya inilah yang membawa Bendera dan berjalan di depan Jayadratha, dalam perjalanannya ke Pancali".
Dan kitab Nagarjuna dalam Maha Prajnaparamita-sastra tertulis;
Berdasarkan dari berbagai sumber Sanjaya guru Sariputra dan Maudgalyayana, tidak lain adalah Sanjay Vairatiputra, Sanjaya Belatthiputta di Pali adalah salah satu dari 6 guru yang terkenal memiliki ajaran sesat, doktrin agnostik yang dianut berkaitan erat dengan nama Amaravikkhepika, para Sofis licik yang dalam perdebatannya, memukul-mukul seperti belut, Sariputra dan Maudgalyayana segera melampaui guru mereka dan Maudgalyayana mempercayakan sebagian muridnya ke mereka.
Mahaprajnaparamitasastra menyebutkan dalam tradisi lama, Sanjaya disajikan dalam cahaya yang tidak menguntungkan, sebagai bidat dalam tradisi yang lebih baru, di buku ini, Sanjaya muncul sebagai pelopor Budha. Tadisi terkini Sanjaya guru Sariputra dan Maudgalyayana tidak memiliki kesamaan dengan bidat dengan nama yang sama, dia bukan milik klan Vairati tapi milik keluarga kaya Kaundinya, jauh dari pengakuan pandangan agnostik, dia mempersiapkan jalan untuk agama Buddha dengan mengkhotbahkan kehidupan religius, Ahimsa, Brahmacarya dan Nirvana.
Dalam kitab yang sama menceritakan guru mereka bernama Chan-Cho-Ye atau Sanjaya, saya melihat bahwa raja Kin-ti (Suvanabhumi) baru saja meninggal. Jadi jelas Chan-Cho-Ye atau Sanjaya adalah Putra Nusantara dan Sariputra adalah murid "Dharma Phala" nama tokoh Dharma Phala ini kemudian menjadi pimpinan di Universitas Nalanda India cabang dari pusatnya yaitu Universitas Dharma Phala di Svarnadvipa. Universitas Dharma Phala berlokasi di Svarnadvipa atau Sumatra, tepatnya di area "Matahari Tanpa Bayang" situs Muara Takus sesuai catatan para pelajar Tiongkok diantaranya:
1. Fa Huan 337-422 M
2. Sung-Yun 518-521 M
3. Hieun-Tsang 602-664 M
4. Hui-Ning 664-667
5. I-Tsing 671-695 M.
Para peziarah atau pendatang dari negeri Tiongkok yang mengunjungi Nusantara maju terdahulu, tak lain hanyalah untuk Belajar bukan sebagai Misionaris, mereka-mereka inilah yang mencatat dan sebagai bukti kalau palsafah Dharma Nusantara mendasari tumbuh dan berkembangnya 3 agama besar di India yaitu Hinduisme, Buddhisme dan Jainisme. Pada masa Dapunta Hyang, palsafah Dharma kembali menggema di bumi Nusantara, membawa para Rshi berlayar dari Dharma Phala Svarnadvipa ke Jawa, dan tersebar tempat-tempat pembelajaran Dharma, diantaranya terdapat Vhwana Saka Pala atau Borobudur.
Reliefnya menandakan itu sebagai bukti, kapal besar bernama "Phancalang", berasal dari literasi kata "Pancali" dan juga literasi kata Maheçakya berarti bangsa Cakya yang Agung. Palsafah Dharma di era Kerajaan Nusantara diselamatkan oleh Majapahit dan dibawa ke Bali. Kerajaan Pajajaran melarang keras memungut pajak disana saat itu, Bali menyimpan baik kitab ajaran Dharma dan tentunya Bali bukanlah negara India.
Dharmic Nusantara, "The Initial Philosophy of Monotheism", atau Hyang Widhi Tunggal, atau Sang Hyang Widhi Wasa, atau Acintya atau All-In-One God. Acintya atau Atintya berarti "Dia yang tidak bisa dibayangkan, Yang tak terpikirkan, Yang tak terbayangkan sedangkan Acintya" bukan Kṛṣṇa versi India. Pemerintah Orde Baru saat itu dipaksa memilih alternatif pilihan salah satu dari dua agama India yang menjadi agama resmi negara (Hindu dan Buddha), karena pilihan tersebut, banyak yang beranggap kalau negara kita pengimpor ajaran dari India. Padahal terbukti kalau seluruh ajaran asli Nusantara terlebih lagi dengan situs-situsnya tidak ada kaitannya pada salah satu dari dua agama India.
Tapi berdasarkan palsafah yang ditemukan di seluruh ajaran asli Nusantara dan juga tergambar di seluruh situs, Nusantaralah yang mendasari tumbuh dan berkembangnya 3 agama besar di India. Jadi mulai sekarang bangsa Indonesia harus mencari sendiri, menelaah dan meneliti secara mendalam tentang leluhur bangsa Indonesia yang merupakan pusatnya peradaban dunia, semua bukti sejarah tersebut tersebar di Nusantara ini yakni dari Sabang sampai Merauke. Semoga bermanfaat dari ulasan dari kami Tim Pea Masamba, sekian, dan terima kasih sudah mampir mengunjungki blog kami. Bye...
Mau dapat hadiah menarik
ReplyDeletehttps://bit.ly/3thIsDD